JELASKAN HAL-HAL DI BAWAH INI :
- Gerakan Islamisasi di Nusantara
- Teori islamisasi di Nusantara
- Tahapan Perkembangan Islam di Nusantara
- Corak islam di nusantara
- Asal-Usul Gerakan Muhammadiyah
- Latar belakang lahirnya muhammadiyah
- Profil pendiri Muhammadiyah
- AD dan ART Muhammadiyah
- Mukaddimah AD Muhammadiyah
- Identitas dan Asas Muhammadiyah
- Keanggotaan Muhammadiyah
- Keorganisasian muhammadiyah
- Kepribadian Muhammadiyah
- Hakekat Muhammadiyah
- Dasar Amal Muhammadiyah
- Pedoman Amal Usaha Muhammadiyah
- Sifat Muhammadiyah
- Matan Keyakinan dan Cita-Cita Muhammadiyah
- Cita-cita Muhammadiyah
- Islam dan keyakinan Muhammadiyah
- Amal dan usaha Muhammadiyah dalam b idang :
- Aqidah
- Ibadah
- Akhlak
- Mu’amalah dunyawiyah
- Gerakan Islamisasi di Nusantara
- Teori Islamisasi di Nusantara
Islam merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha para juru dakwah agama Islam dalam melakukan islamisasi di Indonesia. Islamisasi adalah istilah umum yang biasa dipergunakan untuk menggambarkan proses persebaran Islam di Indonesia pada periode awal (abad 7-13 M), terutama menyangkut waktu kedatangan, tempat asal serta para pembawanya, yang terjadi tidak secara sistematis dan terencana. Inilah definisi islamisasi yang dimaksud dalam tulisan ini. Metodologi tulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library research). Di sini penulis akan mencoba menguraikan beberapa pandangan mengenai teori Islamisasi di Indonesia secara deskriptif-analitis. Pembahasan mengenai masuknya Islam ke Indonesia sangat menarik terkait dengan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan sejarawan. Masing-masing pendapat menggunakan berbagai sumber, baik dari arkeologi, beberapa tulisan dari berbagai sumber.
Ada tiga pendapat tentang waktu masuknya Islam di Nusantara yaitu:
Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7, Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab. Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672M.
Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya. Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M). Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11. Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082) Islam Masuk Ke Indonesia Pada abad ke-13.
Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M. K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298M. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M. Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
- teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
- teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
- teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13-M.
Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah.
Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu, menurut teori ini, Nusantara menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai waktu kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India, Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif, mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699 H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20 Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis, letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh besar terhadap dunia luar.
Beberapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan. Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam. Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya. Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka. Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain :
- Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
- Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
- Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.
Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain: Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia. Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar). Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar lain :
Gedung Batu di semarang (masjid gaya China). Beberapa makam Cina muslim. Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh toleransi (Umar kayam:1989). Berbicara tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari beberapa aspek yang melingkupinya ia tidak sekedar mengungkapkan kuantitas dari data-data yang diperoleh di lapangan, namun berusaha mengungkap hal-hal mendasar dibalik terjadinya proses sejarah tersebut, terutama segala aspek yang menyangkut sosiologi, politik dan budaya sebagai proses menuju perbaikan. Berdasarkan berbagai paparan sejarah masuknya Islam di nusantara, kita bisa mengambil ibroh atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam yang dilakukan oleh pata pendahulu kita. Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang berasal dari berbagai tempat dalam menyampaikan ajaran Islam mampu menjadikan negara Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah prestasi yang gemilang bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini tentu menjadi teladan dan semangat bagi kita semua untuk mempertahankan prestasi tersebut dengan mensyiarkan Islam lebih luas
- Tahapan Perkembangan Islam di Nusantara
Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H / 7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode ini para pedagang dan Mubaligh muslim membentuk komunitas-komunitas Islam.
Pada abad ke 7 sampai 10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Pada akhir abad ke 12 M, kerajaan ini mulai memasuki kemundurannya. Kemunduran politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Pada tahun 1275 kerajaan ini melakukan ekspansi ke Sumatera dan kemudian mengalahkan kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera. Akibat kekuasaan kerajaan Singasari ini banyak daerah-daerah di selat Malaka yang dikuasai kerajaan Sriwijaya melepaskan diri dari kerajaan tersebut.
Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk mendapstkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang muncul dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh.
Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses Islamisasi tentu berjalan sejak abad tersebut. Namun kerajaan ini baru berdiri sejak pertengahan abad ke 13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan kedua di Asia Tenggara.
Proses Islamisasi di Sumatera dan di Jawa
Proses Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman Aceh, Sumatera Barat, terutama terjadi sejak Aceh melakukan ekspansi politiknya pada abad ke 16 dan 17 M. Sementara itu di Jawa, proses islamisasi sudah berlangsung sejak abad ke-11 M, meskipun belum meluas; terbukti dengan ditemukannya makam fatimah binti Maimun di Leran Gresik (475 H/1085 M). Perkembangan Islam di pulau Jawa bersamaan dengan melemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang bebas. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun bukan yang tertua dari Wali Songo, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai kartor pusat.
Genealogi Penyebar Islam
Dakwah Islam berkembang terus dan meluas ke segenap penjuru tanah air. Untuk menjaga kelangsungannya, tidak ada jalan lain kecuali dengan pengkaderan beberapa orang muballigh baru. Mereka dididik secara khusus, di samping diajari ilmu agama Islam, dibekali juga dengan sejarah perjuangan Muhammad sebagai teladan dalam melakukan dakwah Islamiyah. Untuk kepentingan itu, banyak bermunculan perguruan-perguruan yanag dipimpin oleh seorang ulama dan ikuti oleh beberapa murid. Tokoh-tokoh yang terkenal di Samudera Pasai antara lain Hamzah Fansuri, Abdur Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri. Pada umumnya dalam menyebarkan Islam dan dalam memberikan pendidikan Islam, mereka cenderung pada aliran tasawuf. Hal ini menunjukkan bahwa mereka datang dari gujarat, suatu tempat yang banyak dipengaruhi oleh aliran tasawuf.
Di Jawa, terutama di pesisir utara laut Jawa, para pemimpin madrasah dan gerakan dakwah Islam terkenal dengan sebutan “wali”. Perkumpulan para wali terkenal dengan “Wali Sanga” yang masing-masing dipanggil dengan sebutan “sunan”.
WALI
Istilah “wali” diberikan kepada semua tokoh adalah dari kata Arab (yang berarti orang suci). Keringkasan dari waliullah, artinya orang yang dianggap dekat dengan Tuhan, orang keramat, yang memiliki macam-macam keanehan. Wali-wali itu dianggap sebagai orang-orang yang mula-mula menyiarkan agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan Wali Sanga atau wali sembilan, meskipun jumlahnya tidak selalu sembilan (H.C.Ricklefs, 1983). Setelah sunan ampel wafat, para wali di pulau Jawa mengajarkan segala macam wirid, yang berasal dari Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Pada masa kerajaan Demak ada 3 angkatan para wali yang memberikan pelajaran. Tidap angkatan terdiri dari delapan orang wali. Angkatan pertama berlangsung pada awal Kerajaan Demak, angkatan kedua dan ketiga berlangsung pada akhir Kerajaan Demak dan Pajang. Dengan memperhatikan nama-nama wali, maka dapat dipahami bahwa jumlah wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa ternyata tidak hanya sembilan orang dan tidak ada dalam satu periode (Aboe Bakar, 1905).
SANGA
Kata “sanga” dalam bahasa Sansekerta berarti “Saggha”, artinya sekumpulan, partai, serikat, group. Istilah ini dipakai dalam bahasa sehari-hari di India Timur umumnya dan Bangladesh pada khususnya. Dapat dikatakan bahwa arti Wali Sanga adalah sekelompok wali. Ada istilah populer dalam bahasa Jawa Jawata Sanga Dewa Telongpuluh : artinya Tiga puluh Dewa dipimpin 9 orang. Di dalam pertunjukan wayang pun, istilah itu sering disebut, baik di kota maupun di desa. Istilah ini jelas pengaruh dari Sultan Agung, di mana ia mengartikan istilah sanga dengan “9” yang didasarkan pada 8 arah angin dan 1 pemancar / pusat. Sejak itu populerlah wali Snga yang semula berarti kelompok wali menjadi “wali sembilan” (Simuh)
SUNAN
Kata “sunan” mendekati kata “suhunan”, berarti orang yang selalu dimintai benatuannya sebagai tempat bertanya dan tumpuhan masalah, daripada dikatakan sebagai bentuk jamak dari kata bahasa Arab, sunnan, sebab tidak ada hubungan pengertian antara sunan sebagai gelar dengan sunan sebagai kata dalam bahasa Arab. Gelar Sunan yang mereka (para wali) pakai adalah kata Jawa, tetapi asal kata ini kurang jelas, mungkin berasal dari kata suhun yang berarti “menghormati”, sedangkan di sini dipakai dalam bentuk pasif yang berarti “dihormati” (Riklefs, 1990)
Sunan: Suhunan (Jawa) yang dihormati yaitu gelar yang diberikan kepada para wali dan raja-raja Mataram sejak Kajenaran sampai Paku Buwono XII. Raja Mataram bergelar Inghkang Sunuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono. Pendapat lain menyatakan; kata sunan berasal dari bahasa Tionghoa, Syu-Syu-hu-nan, berarti guru-guru terhormat atau tempat para guru besar. Jadi kata “sunan “ itu merupakan sebutan yang menunjukkan tempat asal para wali, meskipun yang berasal dari dataran China hanya beberapa orang saja.
Islam di Belahan Timur
Pengaruh Islam masuk ke Indonesia bagian timur, khususnya daerah Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14 M Islam datang ke Maluku. Raja Ternate yang ke-12 Molomatea (1350-1357 M) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk cara pembuatan kapal, agaknya bukan dalam hal kepercayaan. Di Kalimantan Timur diislamkan oleh Datuk Ribandang dan Tunggang Parangan. Kedua Muballigh ini datang ke Kutai setelah orang-orang Makasar masuk Islam. Proses Islamisasi di Kutai terjadi sekitar tahun 1575 M. Di Sulawesi pada abad ke-16 di daerah Gowa terdapat masyarakat Islam. Raja Gowa Masuk Islam pada tahun 1605 M.
Strategi-strategi Islamisasi di Nusantara
Proses islamisasi melalui beberapa cara antara lain melalui perdagangan (pelayaran internasional dan nasional), perkawinan (misalnya Raden Rahmat dengan Nyai Manila) Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah—raja pertama Demak), tasawuf (para muballigh mengajar teo-sofi pada masyarakat pribumi yang sudah mempunyai alam pikiran agama lama Hindu dan Budha), pendidikan(ulama-ulama mendirikan pesantren), kesenian (pertunjukan wayang oleh para wali), dan politik ( misalnya raja masuk Islam kemudian rakyatnya mengikuti).
Dari Heterodox ke Ortodox
Kontinuitas ialah kesinambungan suatu unsur yang tidak henti-hentinya dia dalam kontek sejarah. Adapun perubahan di sini ialah proses perubahan dari heterodox ke ortodox. Dua unsur terjadi dalam peristiwa sejarah Islam di Jawa, di mana unsur pertama telah membuktikan peranannya dalam menentukan persepsi keislaman bagi pemeluknya dan karenanya berarti bahwa Islam sebagai suatu ajarah agama dipahami bukan dalam bentuknya yang asli. Unsur kedua merupakan masalah yang pokok karena di sini dipandang adanya langkah koreksi terhadap kenyataan pemahaman dari praktek keagamaan kini, ke arah usaha pemurnian.
Sinkretisme di Jawa
Pada waktu Islam masuk ke Jawa, kehidupan keagamaan yang nampak adalah campuran antara kepercayaan-kepercayaan tradisional dengan bentuk-bentuk mistik yang dijiwai oleh agama Hindu dan Budha. Dalam perkembangannya hingga saat ini kepercayaan tersebut tercermin dalam falsafah hidup yang meskipun dipengaruhi juga oleh nilai-nilai kerokhanian dari pada agama Islam, namun kepercayaan tradisional Jawa tetap hidup dan mempengaruhi bentuk kehidupan keagamaannya. Dasar pandangan hidup orang Jawa adalah keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah satu, merupakan kesatuan hidup. Karenanya agama menurut orang Jawa meliputi lebih banyak bidang daripada agama-agama formal, sehingga kurang membedakan antara lapangan hidp duniawi dengan lapangan hidup keagamaan dan hampir segala hal dimasukkan ke dalam bidang keagamaan.
Ciri-ciri orang Jawa selalu berusaha akan mengembangkan kepribadian asli baik mental, pemikiran maupun agama tetap ada dalam menghadapi gejala pengasingan. Bukan hanya orang Jawa tetapi juga bangsa Indonesia umumnya, yang mengakibatkan Bosch mencetuskan istilah “local genius”. Mereka mengaku menganut suatu agama tetapi dalam paham keagamaan asli tidak diganti.
Sufistis Pembawa Islam Ke Nusantra
Seperti diketahui bahwa Islam datang ke Indonesia melalui saudagar Gujarat. Mereka adalah bangsa India beragama Islam yang dalam kehidupannya masih dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya setempat. Tambahan lagi mereka ini kebanyakan dari golongan sufi, melalui ajaran tasawuf inilah nampaknya lebih memudahkan masyarakat Jawa menerima Islam. Hal ini karena di antara unsur-unsur ajaran tasawuf terdapat persamaan-persamaan dengan pola-pola pemikiran Jawa. Sebagai contoh misalnya, bahwa nilai yang paling tinggi dari kepribadian manusia ialah tercapainya ketenangan batin. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mengendalikan hawa nafsu, dengan tidak terlalu memperhatikan barang-barang material. Dan jikalau sudah demikian maka seseorang akan memperoleh kekuatan untuk mengatur dunia sekitarnya. Dengan pemantulan dua kali nampak agama Islam mendapat titik pertemuan dengan Indonesia khususnya pulau Jawa. Dan dengan teori ini akan kuatlah kemungkinan yang seperti dikatakan Benda, seandainya Islam berasal langsung dari Timur Tengah dengan menerapkan kepercayaan monotheis serta menyapu segala sesuatu yang ada sebelumnya mungkin sekali akan tidak menemukan tempat untuk memasuki Indonesia, lebih-lebih pulau Jawa. Dengan gambaran seperti itu dapat dikatakan bahwa bentuk Islam yang diperkenalkan kepada bangsa Indonesia menunjukkan persamaan dengan alam pikiran yang telah dimiliki oleh orang-orang Jawa Hindu. Persamaan tersebut tidak hanya pada alam pikiran saja, tetapi juga gambaran ciri-ciri yang dianggap yang mutlak. Di sini Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak bisa dirasa yang meliputi seluruh jagad, dan ia dipandang sebagai wujud yang transenden. Dan orang Islam Indonesia bagaimanapun lebih menekankan Islam tasawuf daripada ajaran tauhid dari syariat Islam.
Dampak Dakwah Islam yang Tidak Merata di Nusantara
Sementara itu proses islamisasi berjalan tidak merata di Jawa. Di daerah-daerah yang secara intensif mengalami islamisasi dari basis-basis Islam yang kemudian diteruskan oleh para wali beserta keturunan dan murid-muridnya terbentuklah kelompok masyarakat muslimin yang ortodox sedangkan di daerah-daerah yang jauh dari pusat Islam dan mengalami proses Islam yang intensitasnya rendah terbentuklah kelompok masyarakat yang “less islamic” yang disebut kemudian “islam abangan”.
Kekuatan Pengaruh Hindu dan Budha dalam Islam
Tidak meratanya intensitas penyebaran Islam tersebut sebagaimana dikatakan, adalah juga disebabkan karena masih kuatnya pengaruh Hindu-Budha. Dalam hal ini Harry J. Benda mengatakan “Only in those of Indonesia which had been least affected by Hindu civilization in past centuries—such as Acheh and Minagkabau region in Sumatera and Banten in West Java,–did Islam almost from the outset profoundly affect the religious, social and political conciousness of its adherent. Thus it is in those regions that the new faith has manifested itself in a purer, less conciliatory and at times even agressive form. In the greater parts of Java, on the other hand Islam had been forced to adopt itself to centuries old traditions, partly indigenious, partly Hindu-Budhist and in the process to lose much of its doctrinal rigidity.
Perbebedaan Latar Budaya Menyebabkan Perbedaan dalam Berislam
Pada masa para wali hal demikian merupakan masalah yang sulit juga sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di antara mereka dalam menyebarkan Islam kepada penduduk yang masih kuat dengan kepercayaan lama. Di satu pihak Sunan Ampel dan Sunan Giri bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara murni dengan arti lain umat Islam harus diajarkan atau disuruh menjalankan agama yang lurus sesuai dengan sumber aslinya. tetapi Sunan kali jaga tidak, ia lebih bersikap lunak terhadap adat istiadat lama. Sunan Kalijaga tidak menginginkan kalau adat istiadat lama harus sekaligus diberantas karena hal itu akan menimbulkan kesulitan terhadap dakwah Islam. Apa yang dilakukannya adalah dengan memberikan warna baru terhadap bentuk-bentuk lama, partisipasi sambil mempengaruhi, sehingga kontinuitas dalam menuju kepada ajaran murni tetap diharapkan, baik nantinya oleh para dai di kemudian hari, maupun kesadaran masyarakat sendiri terhadap agamanya.
Kontinuitas Perubahan dalam Islam
Pada pertengahan abad ke 19 dan seterusnya, agama Islam muncul dengan kegairahan baru. Di sini Islam lambat laun menghilangkan sifat-sifat sinkretisnya. meningkatnya hubungan laut terutama sekali setelah dibukanya terusan Siez pada tahun 1869 menyebabkan meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia ke tanah suci, sebagian dari mereka ada yang tinggal beberapa tahun di Mekah untuk menuntut dan memperdalam masalah-masalah keagamaan dan sekembalinya di tanah air mereka ini membuat perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan keagamaan. Sementara pesatnya orang-orang Arab Hadramaut yang memasuki Indonesia berarti menambah pula jumlah Islam ortodox di Indonesia.
Munculnya gerakan-gerakan Islam modern yang diilhami oleh ajaran Wahabi dan gerakan pembaharuan Mesir di Indonesia adalah bukti adanya kesadaran tersebut. Gerakan-gerakan baru ini menambah kekuatan agama Islam dan tanpa disadari demikian ini pernah menimbulkan perselisihan antara para pemimpin adat dan sekular kolonial dengan pemimpin agama. Perang Padri di Sumatera Barat atau kemudian perang Aceh, memaksa pemerintah kolonial melakukan intervensi. Dari sinilah kiranya, bahwa gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam merupakan suatu bukti perkembangan Islam di Indonesia senantiasa berhubungan dengan unsur-unsur luar sebagai faktor penting dalam perubahan tersebut. Semuanya ini hendaklah dipandang sebagai refleksi dari prinsip-prinsip ajaran Islam tentang ide terbentuknya suatu umat tanpa membedakan bangsa, ras dan negara. Sehingga mewujudkan sistem peribadatan yang murni yang bersih dari pengaruh-pengaruh peribadatan dan penyembahan dari tradisi nasional atau suatu bangsa tertentu. Pikiran-pikiran tersebut menguatkan asumsi bahwa orang Islam Indonesia memiliki rasa nasionalisme yang tipis atau bahkan mungkin tidak sama sekali.
- Corak Islam di Nusantara
Corak Awal Islam Nusantara Sampai Abad 17
Islam datang ke Nusantara diperkirakan sekitar abad ke-7, kemudian mengalami perkembangan dan mengislamisasi diperkirakan pada abad ke-13. Awal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah atau dari wilayah sekitar India, dengan kerjaan-kerajaan di Nusantara. Perkembangannya pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan banyaknya pemukiman muslim baik di Sumatera maupun di Jawa seperti di pesisir-pesisir pantai.
Pada awal penyebarannya Islam tampak berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, seperti Aceh, Minangkabau, Banten, Makassar, Maluku, serta wilayah-wilayah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu. Menurut penulis pendapat ini kurang kuat karena bertolak belakang dengan pendapat yang menyatakan bahwa Nusantara sebelum kedatangan Islam dipengaruhi oleh budaya Hindu Budha. Selain itu, pendapat ini tidak memiliki bukti yang cukup kuat. Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal. Tranformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi berbarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut:
- Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka berada, mereka temukan di dalam Islam.
- Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan pedagang Muslim yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.
- Kejayaan militer. Orang Muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh kaum Muslim.
- Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara (Nusantara) yang sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta. Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.
- Mengajarkan penghapalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral. Ajaran Islam yang mengandung kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk yang mudah dipahami dan dihafalkan oleh penganut baru. Karena itulah, hafalan menjadi sangat penting bagi para penganut baru yang semakin banyak jumlahnya.
- Kepandaian dalam penyembuhan. Karena penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab spiritual, maka agama dipandang mempunyai jawaban terhadap berbagai penyakit dan ini menjadi jalan untuk pengembang sebuah agama yang baru (Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai.
- Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Ini terangkum dalam moral dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang taat akan dilindungi Tuhan dari segala kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surge di akhirat. Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”.
Adapun corak awal Islam dipengaruhi oleh tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai aspek berikut:
- Aspek Politik
Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir. Menurut penulis, pengambil alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini merupakan konflik yang terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah memeluk agama Islam, menginginkan kehidupan yang adil di bawah pimpinan yang adil pula. Maka dalam hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin didapatkan apabila pemimpin sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya. Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya. Menurut penulis, banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak terlepas dari adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian, terjadi kontak antara Raja dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun akan membantu penyebaran dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.
b). Aspek Hukum
Adanya sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat akan diatur.
Sebelum masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan kedua hokum tersebut. Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya.
Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.
Sebagai contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab Syafi’i. Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara hukum Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.
Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
c). Aspek Bahasa
Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan, khususnya pada masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara pada umumnya berlangsung damai.
Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas.
Wilayah Muslim Asia Tenggara (Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini.
Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum Muslim.
Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.
Dari aspek tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan. Selanjutnya, hal tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan akasara Arab Melayu atau aksara Arab Jawi.
Ketiga aspek tersebut yang dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam yang terus berkembang hingga abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama Islam sangat terasa pada masa tersebut.
- Asal-usul gerakan muhammadiyah
- Latar belakang lahirnya muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA.Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul Muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa. KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
- Profil pendiri muhammadiyah
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo – organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
- AD Dan ART Muhammadiyah
- Mukaddimah AD Muhammadiyah
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang mengasuh alam, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang memegang pengadilan pada hari kemudian. Hanya kepada Engkaulah hamba menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Berilah petunjuk kepada hamba akan jalan yang lempang, jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan, yang tidak dimurkai dan tidak tersesat.
“Saya ridla: Ber-Tuhan kepada ALLAH, ber-Agama kepada ISLAM dan ber-Nabi kepada MUHAMMAD RASULULLAH Shalallahu ‘alaihi wassalam “.
AMMA BAD’U, bahwa sesungguhnya ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata. Ber-Tuhan dan ber’ibadah serta tunduk dan tha’at kepada Allah adalah satu-satunya ketentuan yang wajib atas tiap-tiap makhluk, terutama manusia.
Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (hukum qudrat iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini.
Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu.
Agama Allah yang dibawa dan diajarkan oleh sekalian Nabi yang bijaksana dan berjiwa suci, adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat yang utama dan sebaik-baiknya.
Menjunjung tinggi hukum Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah.
Agama Islam adalah Agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi,sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw, dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia dan Akhirat.
Syahdan, untuk menciptakan masyarakat yang bahagia dan sentausa sebagai yang tersebut di atas itu, tiap-tiap orang, terutama umat Islam, umat yang percaya akan Allah dan Hari Kemudian, wajiblah mengikuti jejak sekalian Nabi yang suci: beribadah kepada Allah dan berusaha segiat-giatnya mengumpulkan segala kekuatan dan menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat yang murni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di hadirat Allah atas segala perbuatannya, lagi pula harus sabar dan tawakal bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya, atau rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan perlindungan dan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa.
Untuk melaksanakan terwujudnya masyarakat yang demikian itu, maka dengan berkat dan rahmat Allah didorong oleh firman Allah dalam Al-Qur’an:
Adakanlah dari kamu sekalian, golongan yang mengajak kepada ke-Islaman, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah daripada keburukan. Mereka itulah golongan yang beruntung berbahagia ” (AlQur’an, S. Ali-Imran:104).
Pada tanggal 8 Dzulhiijah 1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912 Miladiyah, oleh almarhum KHA. Dahlan didirikan suatu persyarikatan sebagai “gerakan Islam” dengan nama “MUHAMMADIYAH” yang disusun dengan Majelis-Majelis (Bahagian-bahagian)-nya, mengikuti pererdaan zaman serta bersdaarkan “syura” yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan atau Muktamar.
Kesemuanya itu. perlu untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw., guna menpat karunia dan ridla-Nya di dunia dan akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah, sehingga. merupakan:
“Suatu negara yang indah, bersih suci dan makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun”.
Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan ummat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga “Jannatun Na’im” dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim.
- Identitas dan Asas Muhammadiyah
1) Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
(2) Muhammadiyah berasas Islam.
- Keanggotaan Muhammadiyah
(1) Anggota Biasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Warga Negara Indonesia beragama Islam
- Laki-laki atau perempuan berumur 17 tahun atau sudah menikah
- Menyetujui maksud dan tujuan Muhammadiyah
- Bersedia mendukung dan melaksanakan usaha-usaha Muhammadiyah
- Mendaftarkan diri dan membayar uang pangkal.
(2) Anggota Luar Biasa ialah seseorang bukan warga negara Indonesia, beragama
Islam, setuju dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah serta bersedia mendukung amal usahanya.
(3) Anggota Kehormatan ialah seseorang beragama Islam, berjasa terhadap
Muhammadiyah dan atau karena kewibawaan dan keahliannya diperlukan atau bersedia membantu Muhammadiyah.
(4) Tatacara menjadi anggota diatur sebagai berikut:
- Anggota Biasa
- Mengajukan permintaan secara tertulis kepada Pimpinan Pusat dengan mengisi formulir disertai kelengkapan syarat-syaratnya melalui Pimpinan Ranting atau Pimpinan amal usaha di tempat yang belum ada Ranting, kemudian diteruskan kepada Pimpinan Cabang.
- Pimpinan Cabang meneruskan permintaan tersebut kepada Pimpinan Pusat dengan disertai pertimbangan.
- Pimpinan Cabang dapat memberi tanda anggota sementara kepada calon anggota, sebelum yang bersangkutan menerima kartu tanda anggota dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bentuk tanda anggota sementara ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
- Pimpinan Pusat memberi kartu tanda anggota Muhammadiyah kepada calon anggota biasa yang telah disetujui melalui Pimpinan Cabang yang bersangkutan
- Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan
Tata cara menjadi Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan diatur oleh Pimpinan Pusat
(5) Pimpinan Pusat dapat melimpahkan wewenang penerimaan permintaan menjadi Anggota Biasa dan memberikan kartu tanda anggota Muhammadiyah kepada Pimpinan Wilayah. Pelimpahan wewenang tersebut dan ketentuan pelaksanaannya diatur dengan keputusan Pimpinan Pusat.
(6) Hak Anggota
- Anggota biasa:
- Menyatakan pendapat di dalam maupun di luar permusyawaratan.
- Memilih dan dipilih dalam permusyawaratan.
- Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan mempunyai hak menyatakan pendapat.
(7) Kewajiban Anggota Biasa, Luar Biasa, dan Kehormatan:
- Taat menjalankan ajaran Islam
- Menjaga nama baik dan setia kepada Muhammadiyah serta perjuangannya
- Berpegang teguh kepada Kepribadian serta Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
- Taat pada peraturan Muhammadiyah, keputusan musyawarah, dan kebijakan Pimpinan Pusat
- Mendukung dan mengindahkan kepentingan Muhammadiyah serta melaksanakan usahanya
- Membayar iuran anggota
- Membayar infaq
(8) Anggota Biasa, Luar Biasa, dan Kehormatan berhenti karena:
- Meninggal dunia
- Mengundurkan diri
- Diberhentikan oleh Pimpinan Pusat
(9) Tata cara pemberhentian anggota.
- Anggota Biasa:
- Pimpinan Cabang mengusulkan pemberhentian anggota kepada Pimpinan Daerah berdasarkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Pimpinan Daerah meneruskan kepada Pimpinan Wilayah usulan pemberhentian anggota dengan disertai pertimbangan.
- Pimpinan Wilayah meneruskan atau tidak meneruskan usulan pemberhentian anggota kepada Pimpinan Pusat setelah melakukan penelitian dan penilaian.
- Pimpinan Wilayah dapat melakukan pemberhentian sementara (skorsing) yang berlaku paling lama 6 (enam) bulan selama menunggu proses pemberhentian anggota dari Pimpinan Pusat,
- Pimpinan Pusat, setelah menerima usulan pemberhentian anggota, memutuskan memberhentikan atau tidak memberhentikan paling lama 6 (enam) bulan sejak diusulkan oleh Pimpinan Wilayah.
- Anggota yang diusulkan pemberhentian keanggotaannya, selama proses pengusulan berlangsung, dapat mengajukan keberatan kepada Pimpinan Cabang, Pimpinan Daerah, Pimpinan Wilayah, dan Pimpinan Pusat. Setelah keputusan pemberhentian dikeluarkan, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Pimpinan Pusat.
- Pimpinan Pusat membentuk tim yang diserahi tugas mempelajari keberatan yang diajukan oleh anggota yang diberhentikan. Pimpinan Pusat menetapkan keputusan akhir setelah mendengar pertimbangan tim.
- Keputusan pemberhentian anggota diumumkan dalam Berita Resmi Muhammadiyah.
- Anggota Luar Biasa dan Kehormatan diberhentikan atas keputusan Pimpinan Pusat.
- Keorganisasian Muhammadiyah
Susunan Organisasi
Susunan organisasi Muhammadiyah terdiri atas:
1. Ranting ialah kesatuan anggota dalam satu tempat atau kawasan
2. Cabang ialah kesatuan Ranting dalam satu tempat
3. Daerah ialah kesatuan Cabang dalam satu Kota atau Kabupaten
4. Wilayah ialah kesatuan Daerah dalam satu Propinsi
5. Pusat ialah kesatuan Wilayah dalam Negara
Penetapan Organisasi
(1) Penetapan Wilayah dan Daerah dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
(2) Penetapan Cabang dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah.
(3) Penetapan Ranting dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Daerah.
(4) Dalam hal-hal luar biasa Pimpinan Pusat dapat mengambil ketetapan lain.
- Kepribadian Muhammadiyah
- Hakekat muhammadiyah
Sesungguhnya kperibadian itu merupakan ungkapan dari keperibadian yang memang sudah ada pada muhammadiyah sejak lama berdiri. Kh. Fakih Usman pada saat itu hanyalah mengkonstatir mengidherkan yang telah ada. Jadi, bukan merupakan hal baru dalam muhammadiyah.
Mereka yang menganggap bahwa keperibadian muhammadiyah sebagai perkara yang baru, hanyalah karena mereka mendapati muhammadiyah sudah tidak dalam keadaan yang sebenarnya. KH. Fakih Usman, sebagai seorang yang telah lama berkecimpung dalam muhamamdiyah sudah benar-benar memahami apa sesungguhnya sifat-sifat khusus muhammadiyah itu. Karena itu kepada mereka yang tidak berlaku sewajarnya dalam muhammadiyah, beliau pun dapat memahaminya. Yang benar-benar dirasakan oleh almarhum KH. Fakih Usman ialah muhammadiyah adalah gerakan.
Gerakan ilam, berdasarkan islam menuju terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya, bukan dengan jalan politik, bukan jalan kekesengsaraan, melaikan dengan pembentukan masyarakat, tanpa memperdulikan bagaimana struktur politik yang menguasainya sejak zaman belanda, jepang dan sampai zaman kemerdekaan RI.
Muhammadiayh tidak buta politik, tidak takut berpolitik, tidak apatis dengan politik, muhammadiayah tidak mencampuri soal-soal politik. Tetapi, apabila soal-soal politik masuk kemuhammadiyah tidak akan tinggal diam, muhammadiyah akan menghadapi dan menyelesaikan dengan cara dan metode muhammadiyah sendiri.
Sejak partai masyumi dibubarkan oleh presiden sukarno, maka warga muhammadiyah yang selama ini berjuang dalam politik praktis, mereka kembali ke muhammadiyah seperti sedia kala. Namun demikian bagi mereka yang telah biasa berjuang iswat jalur politik praktis, maka akan mempengaruhi kinerjanya dalam berjuang dan beramal dalam kemuhammadiyah, masih terbawa-bawa dalam muhammadiyah.
Oleh almarhum KH. Fakih Usman dan PP muhammadiyah pada saat itu, cara-cara demikian didasarkan sebagai cara yang dapat merusak dan mempengaruhi kegiatan muhammadiya sebagai oraganisasi gerakan islam amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam berjuang muhammadiyah telah memiliki cara dan metode perjuangan yang khas yaitu : muhammadiyah bergerak dan berjuang untuk tegakan islam, untuk tegaknya kalimat Allah, untuk terwujudnya masyarakat islam sebenar-benarnya. Hanya saja islam yang digerakan muhammadiyah adalah islam yang benar, islam yang sempurna, islam yang menurut Al-Qur’an dan sunah rasul dan mejalankanya dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan ruh islam.
- Dasar amal muhammadiyah
- Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada Allah.
- Hidup manusia bermasyarakat.
- Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
- Menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada manusia.
- Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad Saw.
- Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
- Pedoman Amal Usaha Muhammadiyah
“Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya harus berpedoman “ Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun disegenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah.”
- Sifat muhammadiyah
- Matan Keyakinan dan cita-cita hidup muhammadiyah
- Cita-cita muhammadiyah
- Mewujudkan Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Artinya: Para sekutu Muhammadiyah harus bersih dari penyakit TBC/ Bid’ah, khurofat, Tahayul dll
- Menjadikan Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Artinya: Islam adalah agama untuk semua yang ada di dunia ini, di pelajari oleh siapa saja, dan diamalkan untuk siapa saja adalah menjadi cita-cita Muhammadiyah.
- Dalam amalan Muhammadiyah berdasarkan Al-Qur’an, Hadits.
- Melaksanakan ajaran-ajaran Islam meliputi segala bidang, baik Akhlak, Aqidah, Ibadah, Muamalah.
- islam dan keyakinan muhammadiyah
- Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
- Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
- Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
- Al-Qur’an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
- Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
- Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam
- Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
“BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR”. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah. Bersifat adil serta korektif kedalam dan keluar dengan bijaksana. - Amal dan Usaha Muhammadiyah dalam bidang :
- ‘Aqidah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
- Akhlak : Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
- Ibadah : Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
- Muamalah Duniawiyah : Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
- Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejah teraan.
- Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
- Lapang dada luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam.
- Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
- Mengindahkan segala hukam, undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah.
- Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh tauladan yang baik.
- Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pebangunan sesuai dengan ajaran Islam.
- Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.